Migrant Institute buka Ciris Center di Dompu dan Cianjur


Untuk memperlancar advokasi dan pendampingan kasus Sumiati dan Kikim, Migrant Institute sejak dua hari lalu memberangkatkan tim nya ke Dompu NTB. Keberangkatan tim Migrant Institute ini untuk memberi santunan dan dukungan kepada keluarga Sumiati serta membangun Crisis Center sebagai bagian dari upaya pendampingan kasus TKI.

Crisis Center di NTB ini dipusatkan di Jl. Sultan Hasanudin No. 26 Bima dan Posko di Jl. Rerapati No. 11 Karijawa Dompu NTB. POsko Crisis Center ini selanjutnya akan menghimpun data-data yang diperlukan untuk memperlancar proses advokasi dan memperoleh gambaran uth tetntang permasalahan yang timbul seputar pengiriman TKI dari wilayah ini.

Migtrant Institut juga mempersiapkan pembuatan Crisis Center di Cianjur, wilayah yang dikenal sebagai sentra TKW, dan merupakan tempat tinggal Kikim yang dikabarkan meninggal karena dianiyaya di Arab Saudi.

Migrant Institute of Hongkong galang 1000 Tanda Tangan Protes Kekerasan


Minggu pagi ini di Victoria Park, Migrant Institute bersama organisasi Tsim tsa shui-Hongkong mengorganisasi sebuah aksi damai orasi, pembacaan puisi, doa dan pengumpulan 1000 tanda-tangan buruh migrant. Hal ini dibuat sebagai solidaritas atas penganiayaan buruh migrant Sumiati di Arab Saudi serta kekerasan yang kerap diterima buruh migrant Indonesia.

Kegiatan ini juga diramaikan dengan aksi galan dana solidaritas Buruh Migrant untuk disampaikan kepada keluarga korban dan kebutuhan lainnya. Kasus penganiayaan seperti ini memang sering terjadi tidak saja di Arab Saudi, namun juga di Hongkong, Malaysia, Singapura dan beberapa negara tujuan buruh migrant asal Indonesia. Jumlah kekerasan memang sangat bergantung dari jumlah buruh migrant. Saat ini jumlah buruh migrant di negara arab dan malaysia adalah yang terbesar. Maka di Malaysia dan Arab sering terdengar berita penganiayaan ini.

Kasus Sumiati Bukti RI Gagal Sejahterakan Rakyat


JAKARTA - Untuk kesekian kalinya cerita kelabu tenaga kerja Indonesia terdengar. Kali ini menimpa Sumiati, TKI asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa majikannya di Madinah, Arab Saudi.

Sumiati yang baru bekerja tiga bulan hanya bisa terbaring di pesakitan akibat ulah majikan yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada lagi hasil jerih payahnya yang bisa dinikmati atau dibawa pulang ke kampung halaman. Itu semua karena ulah kejam sang majikan. Untuk kesekian kalinya, harga diri bangsa ini dinjak-injak karena rakyat kita sudah dizalimi.

Permasalahan TKI adalah masalah klasik yang tidak bisa lepas dari persoalan kemiskinan. Karena alasan ekonomi rakyat Indonesia mencari peruntungan di negeri orang.

Seandainya pemerintah bisa mengelola kemiskinan di dalam negeri, niscaya tidak ada lagi anak bangsa ini yang bekerja di negeri orang, di sektor yang memiliki tingkat risiko sangat tinggi. “Oleh karenanya, pemerintah adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa TKI,” ungkap Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa, Parni Hadi, Kamis (18/11/2010).

Dompet Dhuafa sejak 2003 membantuk ;embaga Migrant Institute (dulu bernama Sahabat Pekerja Migran atau SPM). Migrant Institute melakukan advokasi bagi pekerja migrant, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik dan informal.

Melalui Migrant Institute pula, Dompet Dhuafa melatih keterampilan dan pengetahuan para pahlawan devisa ini agar siap menghadapi dunia kerja di tempat asing. “Untuk itu kami mendorong pemerintah berbuat lebih baik bagi untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dan bertindak cepat untuk membela anak bangsa,” tambahnya.

Dia menambahkan, jika pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga muncul lapangan pekerjaan yang luas, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. “Jikapun kita belum bisa menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri, pemerintah harus membuat desain yang komprehensif terkait TKI,” ujarnya.
(ful)
Sumber : Okezone

Kasus Penganiayaan TKI Tertinggi di Brunai Darussalam

Jakarta - Jumlah kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di kawasan Asia Pasific dan Amerika selama Januari 2009 terdapat 40 kasus. Negara Brunei Darussalam menempati posisi pertama dengan memiliki 20 kasus penganiayaan, disusul Hongkong yang memiliki 5 kasus, Malaysia, Korea, Singapura masing-masing memiliki 4 kasus dan Taiwan 3 kasus.

Kustomo Usman, Koordinator Crisis Center Badan Nasional dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) membenarkan adanya 40 kasus TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika. Negara tersebut adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Taiwan, Hongkong, Korea dan Jepang.

"Jumlah kasus ini berdasarakan hasil laporan dari masyarakat yang datang ke BNP2TKI. Dari laporan tersebut Brunei Darussalam menduduki posisi pertama dalam kasus penganiayaan TKI," kata Kustomo ketika ditemui BNP2TKI.go.id beberapa waktu lalu.

Selain kasus penganiayaan, Kustomo menambahkan, kasus yang sering menimpa para TKI di kawasan itu adalah pembayaran gaji tidak lunas, klaim asuransi, meninggal biasa, gagal berangkat, putus komunikasi, dan Putus Hubungan Kerja (PHK) sepihak.

“Masalah tersebut di atas merupakan kasus yang sering dialami TKI. Dari data laporan masyarakat yang masuk BNP2TKI jumlah kasusnya memang tidak banyak. Mungkin banyak juga masyarakat yang terkena kasus tetapi mereka tidak datang untuk melaporkannya,” paparnya.

Kustomo mengatakan, kasus yang menimpa TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika memang tidak sebanyak kasus TKI di kawasan Timur Tengah (Timteng). Ini dikarenakan jumlah TKI yang bekerja di kawasan itu lebih sedikit dari TKI Timteng.

“Kasus yang jarang terjadi di kawasan Asia Pasifik dan Amerika adalah tidak mampu bekerja, pelecehan seksual, meninggal karena kasus, dokumen tidak lengkap, sakit akibat kerja atau sakit biasa, ditipu dan pemerasan,” sambung Kustomo.

Dari jumlah 7 negera yang masuk kawasan penempatan TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika, Kustomo mengaku hanya Jepang yang tidak memiliki kasus TKI. Selama Januari 2009, tidak ada laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus TKI di Jepang.

“Penempatan TKI di Jepang memang tidak sebanyak Negara-negera lainnya. Ini dikerenakan Jepang sangat selektif dalam memilih buruh migran. Selain itu, TKI yang bekerja di Jepang dikirim resmi oleh pemerintah melalui program Government to Government (G to G),” katanya. (bnp2tki)
sumber : jakartapress.com

Pernyataan Sikap Migrant Institute Atas Kasus Penganiayaan Sumiati


JAKARTA – Untuk kesekian kalinya cerita kelabu tenaga kerja Indonesia terdengar. Kali ini malang menimpa Sumiati, TKI asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa oleh majikan tempatnya bekerja di Madinah, Arab Saudi. Sumiati yang baru bekerja tiga bulan hanya bisa terbaring di pesakitan akibat ulah majikan yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada lagi hasil jerih payahnya yang bisa dinikmati atau dibawa pulang bagi keluarga di kampung halaman. Itu semua karena ulah kejam sang majikan. Untuk kesekian kalinya, harga diri bangsa ini dinjak-injak karena rakyat kita sudah didzalimi.

Permasalahan TKI adalah masalah klasik yang tidak kunjung ada penyelesaiannya. Permasalahan TKI tidak bisa kita lepaskan dari masalah kemiskinan, karena kemiskinanlah mereka mencari peruntungan di negeri orang. Seandainya pemerintah bisa mengelola kemiskinan di dalam negeri, niscaya tidak ada lagi anak bangsa ini yang bekerja di negeri orang, di sector yang memiliki tingkat resiko sangat tinggi.

Oleh karenanya, permasalahan TKI juga merupakan permasalahan pengelolaan negara ini. Karena negara tidak mampu membuat lapangan pekerjaan, banyak masyarakat miskin kita yang merantau dan mengais rizki di negeri orang. “Oleh karenanya, pemerintah adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa TKI-TKI kita,” ungkap Direktur Program Dompet Dhuafa Arifin Purwakananta, sekaligus mewakili Migrant Institute, Kamis (18/11).

“Untuk itu kami mendorong pemerintah berbuat lebih baik bagi untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dan bertindak cepat untuk membela anak bangsa,” tambahnya.

Arifin menambahkan, jika pemerintah dapat meciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga muncul lapangan pekerjaan yang luas, bukan tidak mungkin kita bisa menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Jikapun kita belum bisa menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri, pemerintah harus membuat desain yang komprehensif terkait TKI. Pemerintah harus menjadikan pengiriman TKI sebagai bagian dari strategi daya saing duni, dengan kualitas SDM yang unggul pula tentunya.

“Pengelolaan TKI yang professional tidak boleh terhambat oleh iming-iming devisa, karena nasib kemanusian dan perjuangan negara terhadap warganya merupakan Maruah (harga diri) Bangsa yang harus dijaga dan diperjuangkan,” tegas Arifin.

Penyiksaan Sumiati: Bukti Masih Lemahnya Daya Tawar Bangsa


Jakarta – Tragedi penyiksaan seorang Nakerwan asal Dompu, Nusa Tenggara Barat di Arab Saudi oleh majikannya semakin menambah daftar panjang sisi gelap pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Derasnya aliran devisa masuk dari sektor pengiriman uang TKI/TKW (money remittance) juga beriringan dengan derasnya kabar tentang penganiayaan, penyiksaan bahkan pembunuhan para TKI itu diluar negeri.



“Akar permasalah TKI/TKW ini adalah karena kemiskinan. Dan mayoritas dari mereka yang merantau keluar negeri adalah karena faktor ekonomi,” tandas Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa ketika diwawancarai di Kantor Dompet Dhuafa Jakarta Kamis siang (18/11/2010)



Diakuinya, bahwa menyelesaikan akar masalah ini tidak bisa dilakukan dengan instant. Dirinya menyarankan agar dalam rentang waktu ini, paling tidak para calon tenaga kerja yang akan berangkat ke luar negeri diberikan pembekalan dan informasi yang cukup tentang seluk beluk kondisi negara yang akan didatangi termasuk masalah hukum disana.



Berkaitan dengan respon pemerintah, Parni Hadi menyatakan bahwa sebagai warga negera, respon pemerintah yang cepat dalam menangani kasus Sumiati harus diapresiasi.



“Tapi ingat, respon ini hanyalah reaksi, karena pada akhirnya pemerintah harus bisa mengantisipasi agar orang tidak gampang tergiur ke luar negeri,” katanya sembari mengingatkan bahwa Presiden SBY sendiri pernah berjanji bahwa pemerintahannya adalah pro growth (pro pertumbuhan), pro poor (pro orang miskin), dan pro job (pro lapangan kerja).



Soal advokasi, tambahnya, masih merupakan titik lemah dari pengurusan TKI. “Ada kekurangseriusan di kalangan penyedia jasa TKI (PJTKI) dan dari pihak Kementerian Luar Negeri dalam hal advokasi TKI. Mungkin saja, urusan TKI ini masih dianggap hanya soal kebutuhan uang dan perut semata, padahal ini sudah menyangkut harkat dan martabat bangsa. Tidak bisa menyetarakan begitu saja antara uang dengan harga diri,” jelasnya.



Dompet Dhuafa sendiri, sebagai lembaga milik masyarakat Indonesia, yang secara khusus berkhidmat dengan kepentingan kaum marjinal, sejak 2003 melakukan advokasi migrant dengan membangun lembaga Migrant Institute (dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant atau SPM) guna mendampingi ribuan orang yang kini bekerja di sana, sebagian besar di sektor domestik diberapa negara semisal Hongkong. Secara rutin, Migrant Institute of Hongkong memberikan penyuluhan, bimbingan dan pengetahuan atas hak-hak tenaga kerja, dan memberikan pendampingan untuk mereka yang bermasalah baik dengan majikan maupun dengan peraturan setempat.



“Seperti pengungsi Merapi yang sukar dilarang untuk tidak kembali ke rumahnya di atas gunung, mencegah pemberangkatan TKI juga tidak bisa seketika. Namun setidaknya, kita harus selalu memberikan informasi dan pengetahuan seluas-luasnya serta pendampingan baik sebelum berangkat, selama di negara tujuan dan ketika diakhir kontraknya” tutup Parni Hadi mengakhiri wawancara.

sumber : www.dompetdhuafa.org

Kasus Sumiati : Akar Masalah Penganiayaan TKW ada pada Pengelolaan Negara di Dalam Negeri


Dewan Pembina Dompet Dhuafa Parni Hadi menyampaikan bahwa akar masalah penganiayaan TKW di luar negeri ada pada pengelolaan negara di dalam negeri. "Masalahnya adalah bagaimana negera ini menangani maslah dasar negeri ini yakni kemiskinan", demikian dinyatakan Parni Hadi dalam kesempatan wawancara di kantor Dompet Dhuafa Jakarta.
Parni Hadi juga menyampaikan bahwa pemerintah RI perlu didorong lebih serius untuk melindungi TKW di luar negeri, melatih skill dan memberi jaminan atas keselamatan warga negara di luar negeri.

Selama ini Dompet Dhuafa melahirkan lembaga Migrant Institut (dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant atau SPM) untuk mendorong program advokasi dan pembelaan kepada TKW di luar negeri. Hal ini karena dinilai minimnya perlindungan negera akan warganmya yang bekerja di sektor informal dan domestik di luar negeri. TKW selalu saja menjadi korban di bergagai kasus. Migrant Insitute yang berpusat di Hongkong ini telah mempunyai jaringan di berbagai negara. [map]

Kasus Sumiati, Pemerintah Harus Bertanggung Jawab


Migrant Institute menganggap penganiayaan TKW Sumiati di Arab Saudi harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Selama ini pemerintah terkesan tak memiliki konsepo perlindungan terhadap TKW Indonesia di luar negeri. TKW yang kerap sekali mendapat perlakuan tak baik di luar negeri dikarenakan perlindungan pemerintah sangat minim.

Migrant Institute yang selama ini membuat perlindungan TKW Indonesia di luar negeri ini mmenghimbau agar pemerintah RI serius dalam mengatur kebijakan yang membela nasib TKW.Lembaga yang dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant ini menilai akarf masalah penganiayaan TKW ada pada pengelolaan bangsa ini di dalam negeri, yakni berupa masalah kemiskinan. Migrant Istitute juga menolak pengaturan TKW terutama sektor domestik yang selalu dikaitkan dengan perolehan devisa, karena marwah anak bangsa sangat penting untuk dibela.