Migrant Institute buka Ciris Center di Dompu dan Cianjur


Untuk memperlancar advokasi dan pendampingan kasus Sumiati dan Kikim, Migrant Institute sejak dua hari lalu memberangkatkan tim nya ke Dompu NTB. Keberangkatan tim Migrant Institute ini untuk memberi santunan dan dukungan kepada keluarga Sumiati serta membangun Crisis Center sebagai bagian dari upaya pendampingan kasus TKI.

Crisis Center di NTB ini dipusatkan di Jl. Sultan Hasanudin No. 26 Bima dan Posko di Jl. Rerapati No. 11 Karijawa Dompu NTB. POsko Crisis Center ini selanjutnya akan menghimpun data-data yang diperlukan untuk memperlancar proses advokasi dan memperoleh gambaran uth tetntang permasalahan yang timbul seputar pengiriman TKI dari wilayah ini.

Migtrant Institut juga mempersiapkan pembuatan Crisis Center di Cianjur, wilayah yang dikenal sebagai sentra TKW, dan merupakan tempat tinggal Kikim yang dikabarkan meninggal karena dianiyaya di Arab Saudi.

Migrant Institute of Hongkong galang 1000 Tanda Tangan Protes Kekerasan


Minggu pagi ini di Victoria Park, Migrant Institute bersama organisasi Tsim tsa shui-Hongkong mengorganisasi sebuah aksi damai orasi, pembacaan puisi, doa dan pengumpulan 1000 tanda-tangan buruh migrant. Hal ini dibuat sebagai solidaritas atas penganiayaan buruh migrant Sumiati di Arab Saudi serta kekerasan yang kerap diterima buruh migrant Indonesia.

Kegiatan ini juga diramaikan dengan aksi galan dana solidaritas Buruh Migrant untuk disampaikan kepada keluarga korban dan kebutuhan lainnya. Kasus penganiayaan seperti ini memang sering terjadi tidak saja di Arab Saudi, namun juga di Hongkong, Malaysia, Singapura dan beberapa negara tujuan buruh migrant asal Indonesia. Jumlah kekerasan memang sangat bergantung dari jumlah buruh migrant. Saat ini jumlah buruh migrant di negara arab dan malaysia adalah yang terbesar. Maka di Malaysia dan Arab sering terdengar berita penganiayaan ini.

Kasus Sumiati Bukti RI Gagal Sejahterakan Rakyat


JAKARTA - Untuk kesekian kalinya cerita kelabu tenaga kerja Indonesia terdengar. Kali ini menimpa Sumiati, TKI asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa majikannya di Madinah, Arab Saudi.

Sumiati yang baru bekerja tiga bulan hanya bisa terbaring di pesakitan akibat ulah majikan yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada lagi hasil jerih payahnya yang bisa dinikmati atau dibawa pulang ke kampung halaman. Itu semua karena ulah kejam sang majikan. Untuk kesekian kalinya, harga diri bangsa ini dinjak-injak karena rakyat kita sudah dizalimi.

Permasalahan TKI adalah masalah klasik yang tidak bisa lepas dari persoalan kemiskinan. Karena alasan ekonomi rakyat Indonesia mencari peruntungan di negeri orang.

Seandainya pemerintah bisa mengelola kemiskinan di dalam negeri, niscaya tidak ada lagi anak bangsa ini yang bekerja di negeri orang, di sektor yang memiliki tingkat risiko sangat tinggi. “Oleh karenanya, pemerintah adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa TKI,” ungkap Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa, Parni Hadi, Kamis (18/11/2010).

Dompet Dhuafa sejak 2003 membantuk ;embaga Migrant Institute (dulu bernama Sahabat Pekerja Migran atau SPM). Migrant Institute melakukan advokasi bagi pekerja migrant, khususnya mereka yang bekerja di sektor domestik dan informal.

Melalui Migrant Institute pula, Dompet Dhuafa melatih keterampilan dan pengetahuan para pahlawan devisa ini agar siap menghadapi dunia kerja di tempat asing. “Untuk itu kami mendorong pemerintah berbuat lebih baik bagi untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dan bertindak cepat untuk membela anak bangsa,” tambahnya.

Dia menambahkan, jika pemerintah dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga muncul lapangan pekerjaan yang luas, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. “Jikapun kita belum bisa menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri, pemerintah harus membuat desain yang komprehensif terkait TKI,” ujarnya.
(ful)
Sumber : Okezone

Kasus Penganiayaan TKI Tertinggi di Brunai Darussalam

Jakarta - Jumlah kasus yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di kawasan Asia Pasific dan Amerika selama Januari 2009 terdapat 40 kasus. Negara Brunei Darussalam menempati posisi pertama dengan memiliki 20 kasus penganiayaan, disusul Hongkong yang memiliki 5 kasus, Malaysia, Korea, Singapura masing-masing memiliki 4 kasus dan Taiwan 3 kasus.

Kustomo Usman, Koordinator Crisis Center Badan Nasional dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) membenarkan adanya 40 kasus TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika. Negara tersebut adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Taiwan, Hongkong, Korea dan Jepang.

"Jumlah kasus ini berdasarakan hasil laporan dari masyarakat yang datang ke BNP2TKI. Dari laporan tersebut Brunei Darussalam menduduki posisi pertama dalam kasus penganiayaan TKI," kata Kustomo ketika ditemui BNP2TKI.go.id beberapa waktu lalu.

Selain kasus penganiayaan, Kustomo menambahkan, kasus yang sering menimpa para TKI di kawasan itu adalah pembayaran gaji tidak lunas, klaim asuransi, meninggal biasa, gagal berangkat, putus komunikasi, dan Putus Hubungan Kerja (PHK) sepihak.

“Masalah tersebut di atas merupakan kasus yang sering dialami TKI. Dari data laporan masyarakat yang masuk BNP2TKI jumlah kasusnya memang tidak banyak. Mungkin banyak juga masyarakat yang terkena kasus tetapi mereka tidak datang untuk melaporkannya,” paparnya.

Kustomo mengatakan, kasus yang menimpa TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika memang tidak sebanyak kasus TKI di kawasan Timur Tengah (Timteng). Ini dikarenakan jumlah TKI yang bekerja di kawasan itu lebih sedikit dari TKI Timteng.

“Kasus yang jarang terjadi di kawasan Asia Pasifik dan Amerika adalah tidak mampu bekerja, pelecehan seksual, meninggal karena kasus, dokumen tidak lengkap, sakit akibat kerja atau sakit biasa, ditipu dan pemerasan,” sambung Kustomo.

Dari jumlah 7 negera yang masuk kawasan penempatan TKI di kawasan Asia Pasifik dan Amerika, Kustomo mengaku hanya Jepang yang tidak memiliki kasus TKI. Selama Januari 2009, tidak ada laporan dari masyarakat tentang kasus-kasus TKI di Jepang.

“Penempatan TKI di Jepang memang tidak sebanyak Negara-negera lainnya. Ini dikerenakan Jepang sangat selektif dalam memilih buruh migran. Selain itu, TKI yang bekerja di Jepang dikirim resmi oleh pemerintah melalui program Government to Government (G to G),” katanya. (bnp2tki)
sumber : jakartapress.com

Pernyataan Sikap Migrant Institute Atas Kasus Penganiayaan Sumiati


JAKARTA – Untuk kesekian kalinya cerita kelabu tenaga kerja Indonesia terdengar. Kali ini malang menimpa Sumiati, TKI asal Dompu Nusa Tenggara Barat yang disiksa oleh majikan tempatnya bekerja di Madinah, Arab Saudi. Sumiati yang baru bekerja tiga bulan hanya bisa terbaring di pesakitan akibat ulah majikan yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada lagi hasil jerih payahnya yang bisa dinikmati atau dibawa pulang bagi keluarga di kampung halaman. Itu semua karena ulah kejam sang majikan. Untuk kesekian kalinya, harga diri bangsa ini dinjak-injak karena rakyat kita sudah didzalimi.

Permasalahan TKI adalah masalah klasik yang tidak kunjung ada penyelesaiannya. Permasalahan TKI tidak bisa kita lepaskan dari masalah kemiskinan, karena kemiskinanlah mereka mencari peruntungan di negeri orang. Seandainya pemerintah bisa mengelola kemiskinan di dalam negeri, niscaya tidak ada lagi anak bangsa ini yang bekerja di negeri orang, di sector yang memiliki tingkat resiko sangat tinggi.

Oleh karenanya, permasalahan TKI juga merupakan permasalahan pengelolaan negara ini. Karena negara tidak mampu membuat lapangan pekerjaan, banyak masyarakat miskin kita yang merantau dan mengais rizki di negeri orang. “Oleh karenanya, pemerintah adalah institusi yang paling bertanggung jawab atas tragedi yang menimpa TKI-TKI kita,” ungkap Direktur Program Dompet Dhuafa Arifin Purwakananta, sekaligus mewakili Migrant Institute, Kamis (18/11).

“Untuk itu kami mendorong pemerintah berbuat lebih baik bagi untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya dan bertindak cepat untuk membela anak bangsa,” tambahnya.

Arifin menambahkan, jika pemerintah dapat meciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga muncul lapangan pekerjaan yang luas, bukan tidak mungkin kita bisa menghentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri.

Jikapun kita belum bisa menghentikan pengiriman TKI ke luar negeri, pemerintah harus membuat desain yang komprehensif terkait TKI. Pemerintah harus menjadikan pengiriman TKI sebagai bagian dari strategi daya saing duni, dengan kualitas SDM yang unggul pula tentunya.

“Pengelolaan TKI yang professional tidak boleh terhambat oleh iming-iming devisa, karena nasib kemanusian dan perjuangan negara terhadap warganya merupakan Maruah (harga diri) Bangsa yang harus dijaga dan diperjuangkan,” tegas Arifin.

Penyiksaan Sumiati: Bukti Masih Lemahnya Daya Tawar Bangsa


Jakarta – Tragedi penyiksaan seorang Nakerwan asal Dompu, Nusa Tenggara Barat di Arab Saudi oleh majikannya semakin menambah daftar panjang sisi gelap pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Derasnya aliran devisa masuk dari sektor pengiriman uang TKI/TKW (money remittance) juga beriringan dengan derasnya kabar tentang penganiayaan, penyiksaan bahkan pembunuhan para TKI itu diluar negeri.



“Akar permasalah TKI/TKW ini adalah karena kemiskinan. Dan mayoritas dari mereka yang merantau keluar negeri adalah karena faktor ekonomi,” tandas Parni Hadi, Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa ketika diwawancarai di Kantor Dompet Dhuafa Jakarta Kamis siang (18/11/2010)



Diakuinya, bahwa menyelesaikan akar masalah ini tidak bisa dilakukan dengan instant. Dirinya menyarankan agar dalam rentang waktu ini, paling tidak para calon tenaga kerja yang akan berangkat ke luar negeri diberikan pembekalan dan informasi yang cukup tentang seluk beluk kondisi negara yang akan didatangi termasuk masalah hukum disana.



Berkaitan dengan respon pemerintah, Parni Hadi menyatakan bahwa sebagai warga negera, respon pemerintah yang cepat dalam menangani kasus Sumiati harus diapresiasi.



“Tapi ingat, respon ini hanyalah reaksi, karena pada akhirnya pemerintah harus bisa mengantisipasi agar orang tidak gampang tergiur ke luar negeri,” katanya sembari mengingatkan bahwa Presiden SBY sendiri pernah berjanji bahwa pemerintahannya adalah pro growth (pro pertumbuhan), pro poor (pro orang miskin), dan pro job (pro lapangan kerja).



Soal advokasi, tambahnya, masih merupakan titik lemah dari pengurusan TKI. “Ada kekurangseriusan di kalangan penyedia jasa TKI (PJTKI) dan dari pihak Kementerian Luar Negeri dalam hal advokasi TKI. Mungkin saja, urusan TKI ini masih dianggap hanya soal kebutuhan uang dan perut semata, padahal ini sudah menyangkut harkat dan martabat bangsa. Tidak bisa menyetarakan begitu saja antara uang dengan harga diri,” jelasnya.



Dompet Dhuafa sendiri, sebagai lembaga milik masyarakat Indonesia, yang secara khusus berkhidmat dengan kepentingan kaum marjinal, sejak 2003 melakukan advokasi migrant dengan membangun lembaga Migrant Institute (dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant atau SPM) guna mendampingi ribuan orang yang kini bekerja di sana, sebagian besar di sektor domestik diberapa negara semisal Hongkong. Secara rutin, Migrant Institute of Hongkong memberikan penyuluhan, bimbingan dan pengetahuan atas hak-hak tenaga kerja, dan memberikan pendampingan untuk mereka yang bermasalah baik dengan majikan maupun dengan peraturan setempat.



“Seperti pengungsi Merapi yang sukar dilarang untuk tidak kembali ke rumahnya di atas gunung, mencegah pemberangkatan TKI juga tidak bisa seketika. Namun setidaknya, kita harus selalu memberikan informasi dan pengetahuan seluas-luasnya serta pendampingan baik sebelum berangkat, selama di negara tujuan dan ketika diakhir kontraknya” tutup Parni Hadi mengakhiri wawancara.

sumber : www.dompetdhuafa.org

Kasus Sumiati : Akar Masalah Penganiayaan TKW ada pada Pengelolaan Negara di Dalam Negeri


Dewan Pembina Dompet Dhuafa Parni Hadi menyampaikan bahwa akar masalah penganiayaan TKW di luar negeri ada pada pengelolaan negara di dalam negeri. "Masalahnya adalah bagaimana negera ini menangani maslah dasar negeri ini yakni kemiskinan", demikian dinyatakan Parni Hadi dalam kesempatan wawancara di kantor Dompet Dhuafa Jakarta.
Parni Hadi juga menyampaikan bahwa pemerintah RI perlu didorong lebih serius untuk melindungi TKW di luar negeri, melatih skill dan memberi jaminan atas keselamatan warga negara di luar negeri.

Selama ini Dompet Dhuafa melahirkan lembaga Migrant Institut (dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant atau SPM) untuk mendorong program advokasi dan pembelaan kepada TKW di luar negeri. Hal ini karena dinilai minimnya perlindungan negera akan warganmya yang bekerja di sektor informal dan domestik di luar negeri. TKW selalu saja menjadi korban di bergagai kasus. Migrant Insitute yang berpusat di Hongkong ini telah mempunyai jaringan di berbagai negara. [map]

Kasus Sumiati, Pemerintah Harus Bertanggung Jawab


Migrant Institute menganggap penganiayaan TKW Sumiati di Arab Saudi harus menjadi tanggung jawab pemerintah. Selama ini pemerintah terkesan tak memiliki konsepo perlindungan terhadap TKW Indonesia di luar negeri. TKW yang kerap sekali mendapat perlakuan tak baik di luar negeri dikarenakan perlindungan pemerintah sangat minim.

Migrant Institute yang selama ini membuat perlindungan TKW Indonesia di luar negeri ini mmenghimbau agar pemerintah RI serius dalam mengatur kebijakan yang membela nasib TKW.Lembaga yang dahulu bernama Sahabat Pekerja Migrant ini menilai akarf masalah penganiayaan TKW ada pada pengelolaan bangsa ini di dalam negeri, yakni berupa masalah kemiskinan. Migrant Istitute juga menolak pengaturan TKW terutama sektor domestik yang selalu dikaitkan dengan perolehan devisa, karena marwah anak bangsa sangat penting untuk dibela.

Dilema Buruh Migran


Heboh isu-isu politik di Tanah Air telah menutupi berita dan kejadian penting
lain. Berita bencana alam, kecelakaan, kriminal, kerusuhan, dan bahkan berita
tentang 5 TKW kita yang terancam hukuman mati di Singapura tak mendapat porsi
yang memadai. 5 TKW itu adalah Sundarti Supriyanto, Sumiati, Purwanti Parji,
Juminem, dan Siti Aminah. Mereka dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan
kepada majikan atau keluarga majikan. Para TKI nekad menyeberang dengan tujuan
hendak memperbaiki nasib keluarganya, namun terpaksa harus menghadapi tiang
gantungan. Ini hanyalah sebagian kecil dari kepiluan TKI, masih banyak lagi
kisah-kisah duka yang tidak kita ketahui dan tidak kita pedulikan.

Tanggung jawab negara
Indonesia adalah negeri yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan jumlah penduduk
210 juta. Alam yang subur membuat berbagai macam tanaman sayuran dan
buah-buahan hidup dengan subur. Bermacam-macam barang tambang menjadi sumber
dana bagi negara, misalnya tambang minyak, batubara, emas, perak, dan barang
tambang lainnya. Hidup di Indonesia adalah sebuah karunia yang sangat besar,
karena tidak ada satu pun negara yang memiliki potensi sebaik potensi alam
Indonesia.

Seharusnya demikian, namun tidak untuk sebagian besar penduduk Indonesia. Simak
saja paparan data statistik menunjukkan angka kemiskinan telah mencapai 51,5
persen -- versi Bank Dunia pada tahun 2003. Kondisi ini diperparah dengan
meningkatnya korupsi yang terjadi di Indonesia bahkan tertinggi di Asia,
jaminan keamanan yang buruk, dan stabilitas politik yang tak menentu. Hal ini
menyebabkan gairah investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia menurun
tajam dan pertumbuhan ekonomi terseok-seok. Tidak bisa dielak lagi angka
pengangguran dan setengah pengangguran mendulang mencapai 42 juta jiwa lebih.

Seharusnya kemiskinan dan pengangguran adalah tanggung jawab negara. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang, pemerintah tak berdaya menghadapi
persoalan tersebut, sehingga pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi meluncurkan Progran Penempatan Tenaga Kerja ke luar negeri. Jadi
jelas, program ini terlihat tanpa persiapan. Sampai saat ini peraturan yang
dipakai hanya sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Padahal
urusan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah urusan yang beririsan dengan lintas
departemen dan lintas negara. Departemen yang terkait antara lain: Departemen
Kehakiman dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri.

Kondisi TKI
Menakertrans Jacob Nuwa Wea beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa TKI yang
mendapatkan kasus mencapai 10-12 persen, dengan asumsi belum ditambah dengan
TKI-TKI yang enggan melapor atau tak ada keberanian untuk melapor. Rincian
kasus yang dialami TKI bisa dilihat di Depnakertrans. Pada tahun 2002, di
Malaysia, Hongkong, Korea, Taiwan, dan Arab Saudi ada 1.439 kasus pengaduan,
dengan kasus terbanyak terjadi di Arab, yakni sekitar 727 kasus. Dari
kasus-kasus tersebut sebagian berkaitan dengan persoalan gaji (sekitar 441
kasus), adanya perlakuan yang tidak manusiawi (sekitar 190 kasus), PHK sepihak
yang dilakukan pemberi kerja (sekitar 172 kasus), serta kasus-kasus lainnya.

Dari sekitar 350 ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ditempatkan di luar
negeri selama tahun 2003, sebanyak 38 ribu orang di antaranya bermasalah. TKI
bermasalah umumnya pulang ke Tanah Air dengan membawa masalah tanpa menunggu
penyelesaian kasus di luar negeri. Menurut Dirjen Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Luar Negeri (P2TKLN) Depnakertrans selama 2,5 tahun terakhir,
yaitu dari tahun 1999 sampai dengan Juni 2001 jumlah penempatan TKI tercatat
sebesar 968.260 orang dengan rata-rata penempatan TKI pertahun sebesar 387.304
orang.

Dari jumlah penempatan TKI tersebut, 47,16 persen berada di kawasan ASEAN,
34,50 persen di Timur Tengah, 17,52 persen di Asia Pasifik, 0,76 persen di
Eropa dan Amerika, serta 0,06 persen di berbagai negara lainnya. Sementara itu,
dari jumlah TKI yang ditempatkan, mayoritas adalah TKW yaitu 71,39 persen dan
28,61 persen laki-laki. Dari jumlah penempatan TKI tersebut, tercatat 56,45
persen bekerja di sektor formal dan 43,55 persen di sektor informal. Dari
sejumlah TKI yang dikirim, rata-rata pendidikan mereka sangat rendah. Bahkan
tidak lulus SD. Hal-hal yang memperparah kondisi TKI di luar negeri adalah
ketidak-profesionalan PJTKI, terjadinya TKI ilegal dalam jumlah besar, dan
rendahnya posisi tawar pemerintah Indonesia kepada negara penerima.

Posisi buruh yang lemah bertambah lemah. Lihat saja di Malaysia, orang menyebut
TKI dengan sebutan Indon, yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah orang
yang patut direndahkan. Di Arab Saudi, para TKW dianggap sebagai budak yang
bisa diperlakukan apa saja bahkan dianggap perempuan murahan, yang bisa
dicolek, dihina, dilecehkan, dan bahkan digauli. Di Singapura tak jauh berbeda,
predikat rajin, lugu, dan bodoh selalu melekat pada diri TKI. Sehingga wajar,
hampir di semua negara TKI tidak dianggap setara dengan tenaga kerja asing
lainnya. Gaji yang diterapkan untuk TKI lebih rendah daripada untuk tenaga
kerja asing lain, cuti hari libur tidak diberi dan hal-hal yang tidak boleh
dikerjakan tenaga kerja asing lain tetap harus dikerjakan oleh TKI.

Beralih orientasi
TKI tak pernah jera dengan kejadian yang telah menimpa teman-teman atau bahkan
dirinya sendiri. Keterpaksaan tuntutan hidup membuat mereka pantang menyerah
dan selalu berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Oleh sebab itu,
pengiriman TKI dari waktu ke waktu terus bertambah bahkan pemerintah telah
beralih orientasi dari penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan menjadi
objek sumber devisa sebagaimana barang ekspor non migas. Hal ini tertuang dalam
Inpres No 5 tahun 2003.

Keberangkatan TKI ke luar negeri akan mendatangkan devisa, itu pasti. Tapi
kalau kemudian masukan devisa sebagai tujuan, jelas akan menurunkan kontrol.
Sebab pengiriman TKI akan melonjak sedangkan perbaikan perangkat
perlindungannya masih belum berubah. Hal ini sungguh sangat merugikan TKI,
karena nasibnya di luar negeri menjadi taruhan.

Dari sisi datangnya devisa memang cukup berhasil, dari bulan Januari sampai
dengan September 2003 saja TKI mampu menyumbangkan devisa sebesar 245.035.477
dolar AS. Wajar kalau pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Devisa kepada
TKI, walaupun gelar itu tak mampu memberikan jaminan martabat. TKI tetaplah TKI
yang hanya dijadikan objek para oknum mulai yang bersandal sampai yang berdasi.

Langkah besar
Langkah Depnakertrans yang membebaskan biaya pengurusan paspor TKI, tidak
populer karena dampaknya tidak signifikan bagi perbaikan nasib TKI. Karena
biaya yang lain serta fee untuk PJTKI masih sangat tinggi. Belum lagi fee untuk
sponsor dan biaya-biaya tak resmi lainnya. Untuk itu, langkah-langkah strategis
lainnya harus ditempuh agar mampu mengatasi pokok permasalahan, antara lain,
pertama, disiplin dengan aturan. TKI yang bisa berangkat adalah TKI yang
benar-benar memenuhi syarat dan standar yang telah ditetapkan. Para oknum yang
melanggar harus dikenai sanki yang tegas, termasuk PJTKI.

Kedua, koordinasi kerja antar-instansi. Pengiriman TKI selalu melibatkan
beberapa instansi pemerintah, misalnya Departemen Luar Negeri, Departemen
Perhubungan, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian, dan Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi sendiri. Penanganan TKI ilegal sangat terkait dengan
kerja ini.

Ketiga, mengubah posisi TKI. Pemerintah harus serius melakukan kampanye,
advokasi, dan pemberdayaan TKI. Tujuan utama kampanye adalah mengubah persepsi
masyarakat tentang TKI. Bahwa TKI bukan sebagai objek, tetapi TKI adalah subjek
sebagaimana warga negara bermartabat lainnya. Hal ini seharusnya sebagai titik
awal realisasi dari gelar yang diberikan oleh pemerintah bahwa TKI adalah
Pahlawan Devisa.

Keempat, peningkatan perlindungan. Pembenahan peraturan, mewujudkan MoU,
kepastian kontrak kerja, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengiriman TKI
agar mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi kesejateraan TKI. Perbaikan
posisi tawar pemerintah Indonesia dengan negara penerima harus segera
dilakukan. Harus diingat bahwa pengiriman TKI bukan semata kepentingan negara
pengirim tetapi negara penerima pun sangat memerlukan adanya tenaga kerja asing.

Kelima, pemberantasan tindak kejahatan. Depnakertrans harus memulai gebrakan
baru sebagai pelapor dalam sejumlah kejahatan. Misalnya calo-calo yang
bergentayangan, pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi oleh para cukong untuk
arena jual-beli TKI, penjualan perempuan dan anak, dan lain-lain. Masalah TKI
adalah masalah bangsa. Untuk itu, dukungan dan peran serta seluruh komponen
bangsa harus senantiasa dioptimalkan.


Diterbitkan : Republika Rabu, 05 Mei 2004
Penulis : Zubaidah Ketua Sahabat Pekerja Migrant(sekarang Migrant Institute)Dompet Dhuafa

Tamparan, Jambakan, Pukulan yang Akrab dengan Para TKI di Hongkong


REPUBLIKA.CO.ID, HONGKONG--"Saya sudah tak tahan lagi, dipekerjakan sebagai loper koran dan majalah. Ini menyalahi kontrak dan melanggar aturan, hukum yang berlaku di Hong Kong. Kalau ketahuan polisi Hong Kong saya sendiri bisa kena dan dihukum. Jadi, begitu tahu hal ini melanggar hukum, ya, saya pergi dari rumah majikan," tutur Yuni (23), gadis asal Malang yang kini terpaksa harus tinggal di shelter FKPMU, salah satu penampungan bagi para nakerwan yang tertimpa masalah yang sering dibantu oleh Dompet Dhuafa Hong Kong.

Selama hampir dua tahun kontrak pertama (sekarang tinggal tujuh bulan lagi), Yuni dipekerjakan bukan sebagai pembantu rumah tangga, melainkan tukang antar koran dan majalah di kawasan Causeway Bay, Hong Kong. Dia melakukan pekerjaannya itu nyaris tanpa jeda dengan berjalan kaki, mulai pukul empat subuh hingga petang hari. Malam pun Yuni sibuk mengepak barang, menyortir koran atau majalah yang sudah dan akan diedarkan keesokan harinya.

Yuni tidak sendirian, ternyata banyak juga TKW Indonesia yang sedang tertimpa masalah, dan mereka tinggal di shelter-shelter. Ada tujuh shelter yang pembinaan dan pendampingannya dilakukan oleh Dompet Dhuafa Hong Kong dalam hal men cari solusi kasus mereka, terutama terkait dengan finansial yakni; shelter Al-Istiqomah, Cristian Action, FKMPU, Islamic Union, Jordan, Kotkiho, shelter Iqro, dan shelter Berkah di kawasan Haven Street.

"Saya meninggalkan rumah majikan, karena underpay dan sering disiksa majikan perempuan," aku Rasmi (30), kontrak pertama telah dijalani, memasuki kontrak kedua baru lima bulan. "Saya menerima gaji 2100 dolar HK, tapi harus menandatangani kuitansi total gaji 3580 dolar HK, standar gaji BMI Hong Kong," lanjutnya pula, ketika kami bertemu di shelter Iqro pada kesempatan taklim Bidadari Fajar, kegiatan subuh yang diselenggarakan rutin oleh Dompet Dhuafa Hong Kong. Majikan suka menyuruh Rasmi mencuci mobil tengah malam bahkan pukul dua dinihari.

Penderitaan Rasmi terus berlanjut, karena majikan perempuan hobi sekali menganiaya. Tamparan, jambakan, pukulan, dan tendangan merupakan menu sehari-hari buat ibu dua anak yang nekat mengais rezeki di negeri beton ini, demi mengubah nasib keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah.

"Saya tahu Dompet Dhuafa HK dari seorang teman yang saya temui di halaqoh Wanchai. Saya memutuskan meninggalkan rumah majikan, dan tinggal di shelter Iqro. Kasus saya baru sampai tahap meeting kemarin," tutur Rasmi dengan wajah letih sekali. "Alhamdulillah, sejak tinggal di shelter Iqro ini, kondisi batin saya mulai nyaman. Saya mendapatkan pencerahan setiap menghadiri taklim Bidadari Fajar. Ustadz Ghofur, Bu Melani, dan teman-teman sangat memberi semangat, sering mendoakan kami yang sedang tertimpa masalah."

Ketika ditanya, apakah dia masih ingin melanjutkan kerja di negeri beton ini, ibu dua anak itu pun mengangguk tegas. Alasannya, dia belum memberi banyak untuk keluarga besarnya di Wonosobo. Dua anaknya yang dititipkan kepada orangtua masih kecil, sulungnya 9 tahun, bontotnya hampir 5 tahun. Jadi, Rasmi terpaksa meninggalkan anaknya yang terkecil saat masih berusia 2 tahun.

Di tengah gempita istilah yang sering dikumandangkan oleh para birokrat; Pahlawan Devisa, dengan segala keberhasilannya, kenyataan di lapangan bicara lain. Masih banyak ki sah memilukan, memiriskan hati, dan acapkali tampak sebagai gelombang badai beraroma; ketakadilan, kezaliman, dan kekejian tiada teperi.

Bahwa Yuni dan Rasmi hanyalah merupakan secuil saja dari kasus-kasus yang tengah dihadapi oleh para nakerwan Indonesia di Hong Kong, ini kenyataan yang wajib diperhatikan oleh pihak-pihak terkait. Bukan sebaliknya, justru pihak LSM, baik yang bervisi-misi Islam maupun non-Muslim yang selalu cepat tanggap dalam mengulurkan bantuan, bahkan mencarikan solusi bagi mereka.

"Saya ikhlas menerima kenyataan ini, hanya dapat gaji sebulan dan tiket untuk pulang. Biarlah kasus penganiayaan yang menimpa saya tidak perlu diperhitungkan. Bisa lama urusannya," demikian pengakuan Karsinem, mantan TKW yang pernah tinggal di shelter Iqro selama dua pekan, dan memutuskan pulang ke kampung halamannya di Lampung, nyaris dengan tangan hampa.

sumber : http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/07/30/127533-tampara-jambakan-pukulan-yang-akrab-dengan-para-tki-di-hongkong

Membela Buruh MIgrant Hongkong


UNTUNG ada Dompet Dhuafa. Alhamdulillah, ada DD. Ungkapan itulah kira-kira yang diekspresikan para perantau Indonesia di Hongkong. Sebagai catatan, mulai saat ini saya lebih suka menggunakan istilah perantau ketimbang BMI (Buruh Migran Indonesia), TKI, TKW, apalagi pembantu (PRT). Alasannya, mereka memang perantau dan kata perantau “lebih manusiawi dan lebih bermartabat” mengingat image BMI, TKI, TKW, atau PRT.

Apa peran DD HK bagi perantau Indonesia di Hongkong? “Sangat bermanfaat sekali,” ungkap Sriyatun (33 thn), perantau asal Lampung, yang datang ke ruang komputer begitu saya hendak menulis posting ini di ruangan tersebut. Kata Ibu Sri, program-pogram DD HK sangat bermanfaat. “Bagi saya, semua yang saya butuhkan ada di sini (DD HK), seperti kursus komputer, jahit, bahasa Inggris. Untuk pengembangan diri saya. Sekarang saya lagi kursus komputer,” paparnya.

“DD HK bagi saya semacam ‘penyelamat’, khususnya ketika ada perantau yang mengalami kesulitan dengan majikan,” ungkap perantau lain, Vivi (22 thn), asal Madiun. Vivi sekarang jadi pengajar kursus komputer di DD.

Tidak berlebihan jika saya katakan DD HK merupakan “The Lonely Figther” di Hongkong; berjuang membantu ragam permasalahan yang dihadapi para perantau. DD memiliki sejumlah program unggulan demi kepentingan para perantau, seperti Migran Usaha Mandiri, Migrant Institute, dan Rumah Berkah. “Kita punya target mengembangkan kemandirian, menanamkan mental wirausaha,” kata GM DD HK, Ust. Abdul Ghofur. “Kita berharap mereka menjadi wirausahawan di sini atau ketika kembali ke Indonesia.”

Ketiga program DD HK itu memang menanamkan life skill bagi bekal hidup mandiri. Program Migrant Insitute, misalnya, menawarkan program kursus komputer, bahasa Inggris dan Mandarin, kursus menjahit, memasak, dan sebagainya. “Di Rumah Berkah mereka mempraktekan keterampilan memasak dan mengelola usaha,” kata Ust. Ghofur.

Jumlah perantau Indonesia di Hongkong sekiar 135.000 orang, hampir semuanya akhwat. Inilah mengapa hanya ada “Corps Akhwat” seperti saya ceritakan pada catatan pertama. Pemerintah Hongkong memang hanya membuka kesempatan kerja kepada kaum wanita karena yang dibutuhkan adalah sektor domestik atau rumah tangga. Para perantau pun umumnya menjadi “domestic worker”.

DDD HK tampil sebagai “organizer”, koordinator, dan “penyuplai dana” bagi sekitar 52 organisasi perantau di HK. “DD sendiri hadir di HK sejak 2004 dengan dua alasan utama, yakni isu kemanusiaan dan isu keagamaan,” ungkap Ust. Ghofur. Isu kemanusiaan misalnya soal penganiayaan, ingkar janji majikan, pengusiran, PHK sepihak, dan sebagainya. “Kita turut hadir memberi bantuan jika ada perantau mengalami hal seperti itu,” ungkapnya.

Isu keagamaan lebih “menantang”, terutama kasus Kristenisasi. Menurut Ust. Ghofur, ada perantau bernama Husnul Khotimah meninggal dunia dalam kedaan berkalung Salib. “Begitu dibawa ke masjid mau disholatkan, pihak masjid menolak karena ada salib itu,” kata Ghofur prihatin. “Contoh lainnya Siti Aisyah, anak seorang kyai, dia murtad dan menjadi ‘da’iyah’ Kristen, mengajak perantau lain murtad, seraya mengatakan ’saya anak kyai lebih percaya Kristen”.

Sebagai “lonely figther”, Ust. Ghofor berharap LAZ lain hadir di Hongkong untuk bersama-sama membina perantau. “Yang kita bina baru sekitar 25 ribu, masih ada 110,000 perantau yang belum tersentuh pembinaan, mereka rawan menjadi objek misi kelompok lain yang tidak seiman dengan kita,” ungkapnya.

Waktu luang para perantau itu umumnya hari Ahad. Jadi, hari Ahad atau Minggu itu semacam “Perantau Day”. Pada hari itulah pembinaan berlangsung, mulai dari pengajian atau ceramah agama, kursus keterampilan, refreshing, silaturahmi dengan sesama perantau. “Banyak juga yang pergi ke agent untuk ngurus masalah dengan majikan atau sekadar istirahat,” ungkap Mbak Vivi dan Ibu Sri serempak.

Di Hongkong saat ini ada sejumlah tempat penampungan sementara perantau yang bermasalah yang disebut “Shelter”. Ada sekitar lima Shelter. Sejumlah organisasi, seperti Istiqomah dari organisasi Islam dan dari Kristen ada Christian Action, ikut mengelola Shelter. DD Hongkong mendukung organisasi Islam, seperti suplai dana.

Dana yang terhimpun di DD HK utamanya berasal dari para perantau yang berhasil dan komunitas Muslim lainnya yang ada di Hongkong. Rata-rata dana yang terhimpun tiap tahun lebih dari $HK 200 ribu (sekitar Rp 200 juta). (To Be Continued). (ASM. Romli, Hongkong).*

sumber : http://perantauindonesia.0fees.net/?p=12