Berkunjung ke Kantong-Kantong TKW Para di Hongkong (2-Habis)


Kabur dari Majikan, Hidup dari Shelter ke Shelter
Dandanan para tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia di Hongkong umumnya sangat modis. Baju, celana, atau sepatu yang mereka pakai adalah model terbaru yang tak susah mereka dapatkan di bekas koloni Inggris itu. Ke mana-mana mereka pun menenteng ponsel. Tapi, persoalan yang membelit mereka ternyata cukup kompleks.

Seorang TKW asal Wonosobo, Supatmi, 35, misalnya, ditemui Jawa Pos sedang berada di salah satu shelter (tempat penampungan, Red) di kawasan Lei Wen Court, Causeway Bay. Beberapa hari menumpang di shelter untuk mencari majikan baru, wajah wanita itu tampak lesu. "Saya kabur (dari majikan lama), Pak," katanya pelan, seakan berat menceritakan beban yang dirasakan.

Supatmi mengaku tak tahan terhadap perlakuan kasar majikan lamanya. Salah sedikit saja, dia pasti dibentak-bentak. Bahkan, tak jarang majikannya main pukul. "Saya tidak kuat lagi. Beban pekerjaan berat dan tidak pernah libur, sehingga saya bertekad kabur," ucap Atmi, panggilan akrabnya.

Selama enam bulan bekerja, dia mengaku belum menerima gaji. Padahal, gaji yang diterimanya -sesuai kontrak dengan agen tenaga kerja- jauh di bawah standar. Yakni, hanya 2.000 dolar Hongkong atau sekitar Rp 2,5 juta per bulan. Sesuai standar, gaji itu mestinya sekitar 3.400 dolar. "Kalaupun saya tetap bertahan di sini, itu karena ingat anak-anak dan keluarga di kampung," katanya.

Janda beranak satu itu mengaku terpaksa mengais dolar di Hongkong karena rumah tangganya oleng. Pekerjaan suaminya tidak jelas, sehingga dia memutuskan bercerai. Sejak itu dia menjadi tulang punggung keluarga. Tidak hanya tuntutan untuk membesarkan anaknya, tetapi juga merawat ibunya. "Doakan segera dapat majikan lagi, ya, Pak. Saya tidak tahu, anak dan ibu di kampung makan apa sekarang," ungkapnya sambil menyeka air mata.

Lain lagi persoalan Rahayu, 24. TKW asal Malang itu mengaku menjadi korban penipuan agen. Semula dia dijanjikan bekerja di Hongkong. Tiba di sana ternyata dia ditelantarkan. Akhirnya, Rahayu terdampar dari shelter ke shelter. Padahal, dalam benaknya terbayang gelimang dolar, seperti keberhasilan para tetangga. Mau kembali pulang sudah tidak punya biaya. Beruntung, bulan depan Ayu bisa pulang ke tanah air. "Alhamdulillah, saya dapat pulang atas urunan teman-teman," katanya.

Gaji di bawah standar, konflik dengan majikan, dan aneka modus penipuan adalah persoalan lain yang dialami para TKW asal Indonesia di Hongkong. Yang jelas, begitu terimpit persoalan, tidak sedikit yang lari dari shelter ke shelter yang memang cukup banyak berada di Hongkong.

Demikian juga lembaga-lembaga pendampingan bagi para TKW bermasalah. Lembaga Dompet Dhuafa, misalnya. Lembaga itu memiliki jaringan di sejumlah shelter. Di antaranya, Shelter Ap Lie Chau, Bithun House, Al Istiqamah di Jordan Road, dan Kotkiho di Yao Ma Tei.

"Dalam sebulan, persoalan yang masuk ke kami jumlahnya ratusan. Tentu dengan segala keterbatasan, kami tidak bisa membantu semuanya," kata Imazgee Togie, manajer Dompet Dhuafa Hongkong, kepada Jawa Pos. Lembaga itu juga merupakan payung bagi puluhan lembaga dakwah dan sosial, yang kini tumbuh subur.

Ogie, panggilan akrab pria asal Madiun itu, mencontohkan persoalan gaji di bawah standar (underpay). Kata dia, rata-rata kasus underpay terjadi karena memang sesuai kontrak antara TKW dan agen bersangkutan sebelum berangkat ke Hongkong. Maksudnya, dalam kontrak sudah disepakati gajinya di bawah standar.

"Nah, kalau begini, walaupun kami perjuangkan, posisinya kan lemah. Jadinya, kami mungkin membantu untuk bisa pulang. Karena itu, teman-teman harus mencermati isi kontrak kerja," ujarnya.

Demikian juga konflik dengan majikan. "Banyak laporan, tetapi terkadang tidak disertai bukti-bukti kuat," tambah pria berkaca mata minus itu.

Ogie mengakui, institusinya kini juga terus menggiatkan pelatihan keterampilan dan kursus kepada para TKW yang berminat. Pemberian keterampilan dan kursus itu untuk menunjang pekerjaan mereka. Baik saat di Hongkong ataupun bila memutuskan kembali ke kampung.

Keterampilan itu seperti membuat kue hingga menjahit. Sementara kursus yang diajarkan adalah mengaji Alquran, bahasa Inggris, dan komputer. Aktivitas itu biasanya hanya bisa dilakukan saat para TKW menjalani libur mingguan. Sebab, rata-rata mereka tidak diperbolehkan keluar rumah di luar hari libur.

"Dengan pemberian kursus dan pelatihan itu, harapan kami, mereka tidak selamanya berada di sini. Setelah mengumpulkan modal kembali ke kampung, mereka sudah memiliki bekal keterampilan untuk berwirausaha sendiri. Mereka pun bisa berkumpul kembali dengan keluarga. Sebab, banyak yang sudah berkeluarga," ujarnya.

Berdasar survei yang diselenggarakan aktivis buruh migran, TKW asal Indonesia di Hongkong memang tidak sedikit yang berkeluarga atau menikah. Yakni, 34 persen. Yang masih lajang 58 persen dan berstatus janda 5 persen. Mereka sebagian besar atau 60 persen dari Jawa Timur. Lalu Jawa Tengah 25 persen, dan sisanya Sumatera (3 persen). Khusus TKW dari Jawa Timur, kalau dipersentase lagi mayoritas dari Malang. Rata-rata mereka berpendidikan SMP (47 persen) dan SMA (34 persen).

Karena rata-rata berpengetahuan rendah, pemberian kursus tersebut sangat dirasakan manfaatnya bagi sejumlah TKW. Pengakuan Mariyam, 52, misalnya. Saat ditemui usai mengikuti kursus di shelter Dompet Dhuafa, ibu asal Madiun itu mengaku pekerjaan utamanya di Hongkong adalah sebagai tukang pijat, selain domestic helper (pembantu). Suatu ketika dirinya di-booking pria asing. "Dia bilang, miss your massage is very good," katanya menirukan sambil mengangkat jari jempolnya.

Sadar tidak paham bahasa Inggris, Mariyam pun hanya mesam-mesem. Karena tuntutan itu, dia lalu memutuskan rutin mengikuti kursus tersebut. "Masiyo digojlok wis tuwek kok melok kursus Inggris, nggak masalah (walaupun diolok-olok, sudah tua kok masih ikut kursus bahasa Inggris, ya tidak masalah, Red)," katanya kemudian tertawa cekikikan.

Rata-rata para TKW memang tidak menguasai bahasa Inggris. Namun, kalau percakapan bahasa Canton (bahasa keseharian di Hongkong), jangan tanya. Mereka sudah sangat menguasai. Maklum, sebelum berada di negara dengan penduduk sekitar 7 juta itu, mereka sudah dikursus agen masing-masing selama berbulan-bulan.

Bagi banyak TKW, shelter memang menjadi salah satu alternatif pilihan jika mereka menghadapi persoalan. Namun, tidak sedikit di antara mereka yang memilih terjun ke dunia remang-remang. Menjadi wanita penghibur di bar atau night club, misalnya. Jawa Pos dengan ditemani seorang aktivis buruh migran sempat melihat sepintas kawasan Luard Road, Wan Chai. Lokasinya tidak jauh. Hanya sekitar 5 menit dari pusat kota, dengan naik MTR (mass train railway) atau kereta bawah tanah. Ongkosnya pun murah, 4 dolar Hongkong.

Begitu tiba di kawasan itu, gemerlap lampu warna-warni dan dentuman house music terdengar dengan jelas. Semakin dekat, baru tahu kalau kawasan itu termasuk "kawasan merah". Beberapa perempuan mengenakan rok mini, atas terbuka, dan sepatu hak tinggi. Mereka duduk berjejer di depan pintu di antara deretan gedung-gedung bertingkat. Dari bahasa isyaratnya, perempuan-perempuan itu menawarkan kepada pengunjung jika berminat masuk. Di pintu masuk, dipampang foto-foto syur.

Di salah satu bar, Jawa Pos memang mendapati wanita berwajah Melayu. Dia tampak asyik bercengkerama dengan beberapa pria asing. Sesekali dia menenggak minuman berbau alkohol dan mengepulkan asap rokok. Perempuan berkulit putih itu tampak cantik. Sekilas bahkan mirip penduduk lokal. "Itu dari Indo (Indonesia, Red). Tetapi, tolonglah nggak usah dijepret. Kasihan kalau nanti termuat media, kemudian keluarganya di kampung tahu," kata Yanti, aktivis buruh migran itu.

Kabarnya, industri seks komersial di Hongkong tidak pernah berhenti. Selama 24 jam, tujuh hari seminggu, ribuan wanita bekerja di sektor itu. Mereka mengenakan seragam sangat minim. Padahal, pada malam hari suhu udara saat ini benar-benar menusuk tulang. "Tarifnya sekitar tiga ratus sampai empat ratus dolar Hongkong. Kalau sampai lima ratus, bisa menemani sampai satu jam," cerita Yanti.

Wakil Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) di Hongkong Sri Utami saat dihubungi Jawa Pos tidak mengelak bahwa memang ada beberapa TKW asal Indonesia yang terjerumus dalam dunia remang-remang. Namun, jumlahnya tidak banyak. "Namanya manusia, ya macam-macamlah. Tapi, persentase mereka sangat kecil kok," ujarnya. (sholihuddin)

Berkunjung ke Kantong-Kantong Para TKW di Hongkong (1)


Ganti Nama Benny, Ibu Dua Anak Pilih Jadi Lesbian
Selain menyumbang devisa yang cukup besar bagi negara, banyak tenaga kerja wanita asal Indonesia yang bekerja di Hongkong depresi karena perbedaan budaya. Berikut laporan SHOLIHUDDIN yang baru pulang dari Hongkong.

VICTORIA Park masih menjadi tempat favorit bagi ribuan tenaga kerja wanita (TKW) asal Indonesia saat libur. Karena itu, saat berada di sana Minggu (24/12), suasana taman tersebut terasa seperti di tanah air. Banyak wajah khas Jawa. Komunikasi di antara mereka pun tidak menggunakan bahasa Canton (bahasa keseharian warga Hongkong), tapi bahasa Indonesia. Bahkan, tidak sedikit yang berbahasa Jawa khas Jawa Timur-an.

Mereka tampak menggelar tikar di lapangan. Ada yang sedang makan, mengobrol, bernyanyi, dan berjoget. Sebagian lagi membaca dan sibuk berbelanja aneka barang. Di Victoria Park memang ada pasar mendadak. "Monggo Mas, nderek cangkrukan sareng-sareng dedaharan (mari Mas ikut duduk makan bersama)," kata Tuminah, TKW asal Malang, sambil menawarkan lontong balap kepada Jawa Pos.

Victoria Park terletak di Causeway Bay. Victoria merupakan bagian dari distrik Eastern, berbatasan dengan distrik Wan Chai. Pelabuhan Victoria berada di sebelah utara taman. Perpustakaan kota berada di sebelah selatan. Taman tersebut dilengkapi fasilitas olahraga, kolam renang, serta arena permainan dan fasilitas umum lain.

Lokasi taman itu mudah dijangkau menggunakan angkutan umum seperti bus, trem, dan kereta bawah tanah. Karena itu, Victoria Park menjadi tempat asyik untuk berkongko-kongko.

Bulan ini, Hongkong yang memiliki sekitar 100 ribu TKW asal Indonesia tersebut memasuki musim dingin. Suhu di negeri bekas koloni Inggris itu mencapai 14 derajat celsius. Saat malam lebih dingin.

Meski mereka datang dari pelosok kampung, pakaian para TKW yang berkumpul di Victoria Park tersebut terlihat modis. Tak sedikit yang mengenakan rok mini berbahan denim dipadu stocking dan aksesori lain. Make-up wajah mereka pun tampak menor.

Saat Hongkong memasuki musim panas, kata Tuminah, dandanan mereka lebih "wah". Rata-rata mereka mengenakan pakaian terbuka seperti tank top. "Maklum, sumuk (panas)," ujar wanita yang akrab dipanggil Ina itu.

Kalaupun ada yang agak berbeda di Victoria Park kini, itu adalah makin banyaknya pemandangan hubungan sesama jenis alias lesbian di antara para TKW. Di taman seluas sekitar tiga kali lapangan sepak bola itu sekarang sangat mudah dijumpai fenomena lesbian. Banyak pasangan sejenis terlihat sangat cuek bermesraan di pojok-pojok taman. Mereka bahkan tidak malu (maaf) berciuman.

Dandanan salah satu pasangan lesbian itu pun bak laki-laki. Rambut cepak disemir merah hingga melepas anting-anting. Bahkan, ketika diajak berkenalan, tidak sedikit yang mengganti nama panggilan mereka menjadi nama laki-laki. "Nama saya, Benny. Saya asal Blitar, Mas," ujarnya memperkenalkan diri dengan suara cempreng. Saat diminta memperlihatkan identitas aslinya, ternyata dia bernama Supeni.

Supeni alias Benny yang meninggalkan seorang suami dan dua anak itu mengaku sudah 10 tahun bekerja di Hongkong menjadi pembantu rumah tangga. Dia tidak mau menjawab banyak pertanyaan mengapa dirinya sampai memilih menjadi lesbian. "Sudahlah, tak usah tanya macam-macam. Pokoknya, aku ingin bebas dan bersenang-senang," tegasnya.

Sebelum bekerja di Hongkong, Supeni menjalani hidup normal sebagai wanita. Karena faktor ekonomi, dia harus mencari penghidupan ke Hongkong. Namun, kehidupan di Hongkong yang glamor ternyata mengubah sebagian gaya hidupnya. Entah mengapa kini dirinya larut dalam pergaulan lesbian tersebut. "Embuh, Mas. Nggak tahu kok jadi begini," katanya dengan tatapan kosong.

Tidak hanya di Victoria Park. Maraknya pemandangan pasangan lesbian itu banyak ditemukan di tempat-tempat lain. Ketika Jawa Pos menyusuri sejumlah lokasi perbelanjaan, jalanan, dan warung-warung penjual makanan Indonesia, banyak ditemui pasangan lesbian. Padahal, beberapa tahun sebelumnya, fenomena tersebut memang sudah ada, tetapi tidak semarak belakangan ini.

Meski begitu, banyak pula TKW yang tidak ikut larut dalam gaya hidup Hongkong. Mereka, antara lain, terlihat mengenakan busana muslimah. Pada hari libur, mereka memilih mengikuti pengajian serta kegiatan-kegiatan sosial keagamaan.

Di Hongkong saat ini muncul puluhan organisasi yang banyak melakukan dakwah dan kegiatan sosial. Perkumpulan itu dibentuk oleh para TKW. Dalam kurun waktu tertentu, mereka rutin "mengimpor" dai dari Indonesia.

Misalnya, yang dilakukan Lembaga Dakwah (LD) Azzahrah. Saat saya dan rombongan berada di Hongkong, mereka menyebarkan selebaran di sejumlah tempat. Salah satunya di Warung Malang yang hanya beberapa meter dari KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia) di Hongkong. Isinya berupa pemberitahuan bahwa menyambut Idul Adha kali ini, mereka mendatangkan Ustad Abu Aqila. Acara pengajian diadakan di Masjid Jami’ Tsim Sha Tsui, Nathan Road.

Menurut Supriyatin, salah seorang aktivis LD Azzahra, lembaga tersebut pernah mengundang Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), Sulis, Agus Mustofa, Gus Nur, dan banyak lagi.

Kegiatan tersebut setidaknya dilakukan untuk membentengi teman-teman. Sebab, kondisi saat ini sudah sangat memprihatinkan. "Coba saja kalau nanti Sampeyan berjalan-jalan, dandanan mereka bagaimana," ujarnya.

Meski mayoritas penduduknya tidak beragama Islam, kegiatan-kegiatan di sejumlah masjid di Hongkong juga semarak. Misalnya, di Masjid Al Ammar di kawasan Wan Chai. Ketika Jawa Pos bertandang ke tempat ibadah itu, sedang diselenggarakan training mubalig oleh Lembaga Dompet Dhuafa. Kegiatan tersebut diikuti puluhan TKW. Mereka adalah utusan perkumpulan-perkumpulan dakwah tersebut.

"Jumlah mubalig di sini kan terbatas, sehingga harus ada upaya mencetak mubalighoh. Merekalah yang akan meneruskan syiar agama kepada saudara-saudaranya," ujar Ustad Masyhud saat ditemui setelah memberikan training di Masjid Al Ammar.

Menurut ustad asal Sidoarjo tersebut, keberadaan TKW di Hongkong perlu diperhatikan serius. Terutama oleh pemerintah RI maupun anggota DPR. Salah satu di antaranya mengenai makin maraknya fenomena lesbian dan pergaulan bebas.

Masyhud mengungkapkan, fenomena itu disebabkan, antara lain, beban berat yang dirasakan para TKW. Saat berangkat mengadu nasib di Hongkong, rata-rata mereka meninggalkan suami, anak-anak, dan anggota keluarga. "Jadi, beban mereka sudah ada sebelum berangkat," jelasnya.

Saat berada di Hongkong pun, kata dia, mereka mendapatkan tekanan jiwa karena kultur. "Misalnya, tinggal di rumah seperti ini (gedung-gedung tinggi, Red) kan seperti tinggal di penjara. Berbeda dari di kampung halaman mereka yang terbuka," ungkapnya.

Selain itu, kata dia, ada persoalan psikologis hubungan dengan majikan maupun anggota keluarga di rumah yang ditinggalkan. Dari rumah, mereka ingin mengubah nasib. Tapi, mereka merasa seolah dieksploitasi keluarganya di kampung. Ada pula yang dikhianati suaminya.

"Nah, karena beban-beban itu, mereka cenderung ingin melepaskan diri. Persoalan-persoalan semacam itu harus dilawan dengan pendekatan persuasif seperti memberikan pendidikan agama," katanya.

Menurut dia, salah satu bentuk perhatian pemerintah RI yang harus segera dilakukan adalah mengirimkan tenaga pendidik atau ustad secara rutin. Selama ini, kegiatan itu menjadi beban perkumpulan para tenaga kerja.

"Kontribusi mereka terhadap tanah air luar biasa. Bayangkan, jumlahnya lebih dari 100 ribu. Kalau setiap bulan rata-rata kiriman mereka Rp 1 juta saja, sebulan aliran uang ke Indonesia mencapai Rp 100 miliar. Dalam setahun lebih dari Rp 1 triliun," ujarnya. (*)

(jawapos)