
Heboh isu-isu politik di Tanah Air telah menutupi berita dan kejadian penting
lain. Berita bencana alam, kecelakaan, kriminal, kerusuhan, dan bahkan berita
tentang 5 TKW kita yang terancam hukuman mati di Singapura tak mendapat porsi
yang memadai. 5 TKW itu adalah Sundarti Supriyanto, Sumiati, Purwanti Parji,
Juminem, dan Siti Aminah. Mereka dituduh melakukan tindak pidana pembunuhan
kepada majikan atau keluarga majikan. Para TKI nekad menyeberang dengan tujuan
hendak memperbaiki nasib keluarganya, namun terpaksa harus menghadapi tiang
gantungan. Ini hanyalah sebagian kecil dari kepiluan TKI, masih banyak lagi
kisah-kisah duka yang tidak kita ketahui dan tidak kita pedulikan.
Tanggung jawab negara
Indonesia adalah negeri yang terdiri dari 17 ribu pulau dengan jumlah penduduk
210 juta. Alam yang subur membuat berbagai macam tanaman sayuran dan
buah-buahan hidup dengan subur. Bermacam-macam barang tambang menjadi sumber
dana bagi negara, misalnya tambang minyak, batubara, emas, perak, dan barang
tambang lainnya. Hidup di Indonesia adalah sebuah karunia yang sangat besar,
karena tidak ada satu pun negara yang memiliki potensi sebaik potensi alam
Indonesia.
Seharusnya demikian, namun tidak untuk sebagian besar penduduk Indonesia. Simak
saja paparan data statistik menunjukkan angka kemiskinan telah mencapai 51,5
persen -- versi Bank Dunia pada tahun 2003. Kondisi ini diperparah dengan
meningkatnya korupsi yang terjadi di Indonesia bahkan tertinggi di Asia,
jaminan keamanan yang buruk, dan stabilitas politik yang tak menentu. Hal ini
menyebabkan gairah investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia menurun
tajam dan pertumbuhan ekonomi terseok-seok. Tidak bisa dielak lagi angka
pengangguran dan setengah pengangguran mendulang mencapai 42 juta jiwa lebih.
Seharusnya kemiskinan dan pengangguran adalah tanggung jawab negara. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa sampai sekarang, pemerintah tak berdaya menghadapi
persoalan tersebut, sehingga pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi meluncurkan Progran Penempatan Tenaga Kerja ke luar negeri. Jadi
jelas, program ini terlihat tanpa persiapan. Sampai saat ini peraturan yang
dipakai hanya sebuah Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Padahal
urusan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) adalah urusan yang beririsan dengan lintas
departemen dan lintas negara. Departemen yang terkait antara lain: Departemen
Kehakiman dan HAM, Departemen Luar Negeri, Departemen Perhubungan, dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi sendiri.
Kondisi TKI
Menakertrans Jacob Nuwa Wea beberapa waktu yang lalu menyatakan bahwa TKI yang
mendapatkan kasus mencapai 10-12 persen, dengan asumsi belum ditambah dengan
TKI-TKI yang enggan melapor atau tak ada keberanian untuk melapor. Rincian
kasus yang dialami TKI bisa dilihat di Depnakertrans. Pada tahun 2002, di
Malaysia, Hongkong, Korea, Taiwan, dan Arab Saudi ada 1.439 kasus pengaduan,
dengan kasus terbanyak terjadi di Arab, yakni sekitar 727 kasus. Dari
kasus-kasus tersebut sebagian berkaitan dengan persoalan gaji (sekitar 441
kasus), adanya perlakuan yang tidak manusiawi (sekitar 190 kasus), PHK sepihak
yang dilakukan pemberi kerja (sekitar 172 kasus), serta kasus-kasus lainnya.
Dari sekitar 350 ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ditempatkan di luar
negeri selama tahun 2003, sebanyak 38 ribu orang di antaranya bermasalah. TKI
bermasalah umumnya pulang ke Tanah Air dengan membawa masalah tanpa menunggu
penyelesaian kasus di luar negeri. Menurut Dirjen Pembinaan dan Penempatan
Tenaga Kerja Luar Negeri (P2TKLN) Depnakertrans selama 2,5 tahun terakhir,
yaitu dari tahun 1999 sampai dengan Juni 2001 jumlah penempatan TKI tercatat
sebesar 968.260 orang dengan rata-rata penempatan TKI pertahun sebesar 387.304
orang.
Dari jumlah penempatan TKI tersebut, 47,16 persen berada di kawasan ASEAN,
34,50 persen di Timur Tengah, 17,52 persen di Asia Pasifik, 0,76 persen di
Eropa dan Amerika, serta 0,06 persen di berbagai negara lainnya. Sementara itu,
dari jumlah TKI yang ditempatkan, mayoritas adalah TKW yaitu 71,39 persen dan
28,61 persen laki-laki. Dari jumlah penempatan TKI tersebut, tercatat 56,45
persen bekerja di sektor formal dan 43,55 persen di sektor informal. Dari
sejumlah TKI yang dikirim, rata-rata pendidikan mereka sangat rendah. Bahkan
tidak lulus SD. Hal-hal yang memperparah kondisi TKI di luar negeri adalah
ketidak-profesionalan PJTKI, terjadinya TKI ilegal dalam jumlah besar, dan
rendahnya posisi tawar pemerintah Indonesia kepada negara penerima.
Posisi buruh yang lemah bertambah lemah. Lihat saja di Malaysia, orang menyebut
TKI dengan sebutan Indon, yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah orang
yang patut direndahkan. Di Arab Saudi, para TKW dianggap sebagai budak yang
bisa diperlakukan apa saja bahkan dianggap perempuan murahan, yang bisa
dicolek, dihina, dilecehkan, dan bahkan digauli. Di Singapura tak jauh berbeda,
predikat rajin, lugu, dan bodoh selalu melekat pada diri TKI. Sehingga wajar,
hampir di semua negara TKI tidak dianggap setara dengan tenaga kerja asing
lainnya. Gaji yang diterapkan untuk TKI lebih rendah daripada untuk tenaga
kerja asing lain, cuti hari libur tidak diberi dan hal-hal yang tidak boleh
dikerjakan tenaga kerja asing lain tetap harus dikerjakan oleh TKI.
Beralih orientasi
TKI tak pernah jera dengan kejadian yang telah menimpa teman-teman atau bahkan
dirinya sendiri. Keterpaksaan tuntutan hidup membuat mereka pantang menyerah
dan selalu berharap mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Oleh sebab itu,
pengiriman TKI dari waktu ke waktu terus bertambah bahkan pemerintah telah
beralih orientasi dari penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan menjadi
objek sumber devisa sebagaimana barang ekspor non migas. Hal ini tertuang dalam
Inpres No 5 tahun 2003.
Keberangkatan TKI ke luar negeri akan mendatangkan devisa, itu pasti. Tapi
kalau kemudian masukan devisa sebagai tujuan, jelas akan menurunkan kontrol.
Sebab pengiriman TKI akan melonjak sedangkan perbaikan perangkat
perlindungannya masih belum berubah. Hal ini sungguh sangat merugikan TKI,
karena nasibnya di luar negeri menjadi taruhan.
Dari sisi datangnya devisa memang cukup berhasil, dari bulan Januari sampai
dengan September 2003 saja TKI mampu menyumbangkan devisa sebesar 245.035.477
dolar AS. Wajar kalau pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Devisa kepada
TKI, walaupun gelar itu tak mampu memberikan jaminan martabat. TKI tetaplah TKI
yang hanya dijadikan objek para oknum mulai yang bersandal sampai yang berdasi.
Langkah besar
Langkah Depnakertrans yang membebaskan biaya pengurusan paspor TKI, tidak
populer karena dampaknya tidak signifikan bagi perbaikan nasib TKI. Karena
biaya yang lain serta fee untuk PJTKI masih sangat tinggi. Belum lagi fee untuk
sponsor dan biaya-biaya tak resmi lainnya. Untuk itu, langkah-langkah strategis
lainnya harus ditempuh agar mampu mengatasi pokok permasalahan, antara lain,
pertama, disiplin dengan aturan. TKI yang bisa berangkat adalah TKI yang
benar-benar memenuhi syarat dan standar yang telah ditetapkan. Para oknum yang
melanggar harus dikenai sanki yang tegas, termasuk PJTKI.
Kedua, koordinasi kerja antar-instansi. Pengiriman TKI selalu melibatkan
beberapa instansi pemerintah, misalnya Departemen Luar Negeri, Departemen
Perhubungan, Departemen Kehakiman dan HAM, Kepolisian, dan Departemen Tenaga
Kerja dan Transmigrasi sendiri. Penanganan TKI ilegal sangat terkait dengan
kerja ini.
Ketiga, mengubah posisi TKI. Pemerintah harus serius melakukan kampanye,
advokasi, dan pemberdayaan TKI. Tujuan utama kampanye adalah mengubah persepsi
masyarakat tentang TKI. Bahwa TKI bukan sebagai objek, tetapi TKI adalah subjek
sebagaimana warga negara bermartabat lainnya. Hal ini seharusnya sebagai titik
awal realisasi dari gelar yang diberikan oleh pemerintah bahwa TKI adalah
Pahlawan Devisa.
Keempat, peningkatan perlindungan. Pembenahan peraturan, mewujudkan MoU,
kepastian kontrak kerja, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengiriman TKI
agar mampu menciptakan situasi yang kondusif bagi kesejateraan TKI. Perbaikan
posisi tawar pemerintah Indonesia dengan negara penerima harus segera
dilakukan. Harus diingat bahwa pengiriman TKI bukan semata kepentingan negara
pengirim tetapi negara penerima pun sangat memerlukan adanya tenaga kerja asing.
Kelima, pemberantasan tindak kejahatan. Depnakertrans harus memulai gebrakan
baru sebagai pelapor dalam sejumlah kejahatan. Misalnya calo-calo yang
bergentayangan, pelabuhan-pelabuhan yang disinggahi oleh para cukong untuk
arena jual-beli TKI, penjualan perempuan dan anak, dan lain-lain. Masalah TKI
adalah masalah bangsa. Untuk itu, dukungan dan peran serta seluruh komponen
bangsa harus senantiasa dioptimalkan.
Diterbitkan : Republika Rabu, 05 Mei 2004
Penulis : Zubaidah Ketua Sahabat Pekerja Migrant(sekarang Migrant Institute)Dompet Dhuafa